Sabtu, 31 Juli 2010

Jembatan satu



berada di penghujung bulan Juli, pikiranku masih juga tertuju pada masa depan yang absurd.

baru saja aku selesai berkumpul dg teman2ku (angling, rifki, ridwan, faiz, dimas, suryo), ba'da maghrib kita langsung meluncur menuju kawasan kota lama, tepatnya di sebuah warung STMJ. sembari menikmati hidangan susu-telur-madu-jahe plus kue-kue khas tradisional, kami pun melepas penat dan lelah setelah seharian bergumul dengan urusan masing-masing. setiap teguk minuman yang mengalir dalam rongga seolah menghapus segala kelelahan tadi...
setelah itu, kami pun berlanjut menuju kolam polder di depan stasiun tawang. kami duduk lesehan sembari makan kacang dan minum es teh dari warung angkringan sekitar. kami pun memulai perbincangan, berdiskusi mengenai berbagai hal dengan alur yg tak beraturan. mulai dari refleksi tentang masa yang telah berlalu, masa kini yang sedang dijalani hingga masa depan yang hendak dituju. kami berdiskusi tentang jalan hidup masing-masing yang sesuai dengan harapan. bercerita tentang si A, si B, si C, hingga si Z, mengomentari seluk beluk kehidupan dan 'keberhasilan' mereka semua, sedangkan aku hanya bisa terpejam membayangi jalan dan jembatan yang kelak ku lalui...

kemudian masih segar dalam ingatanku, terbayang acara wisuda fakultas di malam kemarin lusa. ku lihat banyak wajah-wajah yang seri gembira merayakan kelulusannya, bersama orangtua dan sanak keluarganya, ada juga wajah-wajah yang tersenyum menyembunyikan kegundahan di hatinya karena belum bisa ikut merayakan kelulusan di malam itu. sedangkan aku hanya merasa hening tak berhasrat, aku bukannya cemas karena belum bisa (ikut) wisuda di malam itu, mungkin aku cemas dengan kecemasanku, cemas membayangi 'jembatan' berikutnya yang hendak ku tuju. pikiranku menganga dan menengadah menantikan cahaya Ilahi menerangiku...

tak pernah bisa ku sembunyikan, kecemasan, kegalauan dan kekhawatiran masih saja mengitari akal sehatku. keyakinan dan kecintaanku pada kebenaran semakin terusik oleh kegelapan pikiran. pikiranku tertuju kesana-kemari tak menentu, terjebak dalam gulungan ombak besar di tengah samudera, menantikan angin yang dapat membimbingku dan mengantarku pada dermaga tujuan'Ku'



23.00 @ Granada, Semarang


Kamis, 22 Juli 2010

refleksi di tengah 'pendakian'





dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari, dan bulan untukmu.
dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya.
sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
kaum yang memahaminya
(An Nahl : 12)



malam ini aku merasa agak melankolis, sambil membayangkan rekaman kehidupan di keheningan pekat malam. tak terasa kini usiaku genap dua puluh dua tahun, dan aku menyadari 'pendakianku' yang makin sulit & lebih menantang.

saat ini aku telah memasuki fase pertengahan kehidupanku, masa-masa dimana ruh idealisme berada di puncak kesadaran. aku harus memompa lagi spirit perjuangan dan mengisi kembali bekal pengetahuan serta keberanianku. tantangan yang makin besar di depan 'pendakianku' kini harus mampu aku hadapi dengan perjuangan yang menghujam.

aku coba memaknai perjalanan hidup ini layaknya sebuah pendakian, dimana kita memiliki satu tujuan yaitu mencapai puncak 'keabadian'. proses pendakian merupakan analogi dari perjuangan hidup kita di dunia, dalam pendakian akan kita temui berbagi kondisi yang siap menghadang laju kita, mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti bakal menghadapinya, seperti jalan yang terjal berliku, curam, serta penuh dengan bebatuan. walaupun adakalanya kita berhadapan dengan jalan yang lurus serta landai, tapi kondisi seperti itu hanya sedikit, lebih sering medan sukar lah yang kita hadapi. kehidupan layaknya pendakian dimana setiap momen perjalanan seringkali kita bertemu dengan hiasan sepanjang jalan, seperti hembusan angin yang menyejukkan, kicauan burung yg merdu, gemercik aliran sungai, kecupan kabut tipis putih, kecantikan bunga-bunga serta keelokan lambaian hutan pinus, cemara, dsb. ya, seperti itu lah hiasan kehidupan yang pasti kita jumpai dalam proses perjalanan, yang terpenting adalah jangan sampai kita terlena pada hiasan tersebut sehingga kita lupa akan tujuan yang semula yaitu menuju puncak 'keabadian'.

lalu setelah letih berjuang habis-habisan dan jatuh bangun di sepanjang pendakian, akhirnya semua jerih payah perjuangan tersebut terbayarkan ketika tiba di puncak 'keabadian'. keabadian disini artinya yaitu kepuasan dan kebahagiaan yang 'abadi', seperti yang Tuhan janjikan bahwa kelak Dia akan menempatkan manusia pada puncak 'keabadian' yaitu Surga, dimana segala keindahan serta kepuasaan takkan pernah habis dimakan sang waktu, tapi justru giliran sang waktu lah yang dilenyapkankan oleh Tuhan di puncak keabadian tersebut. seperti itu lah kehidupan yang didambakan, mencapai puncak dengan proses pendakian yang penuh perjuangan.

kini pendakianku sudah mendekati setengah perjalanan, aku harus menghimpun energi lebih banyak lagi karena aku tak ingin gagal di tengah pendakianku mencapai puncak keabadian, aku tak ingin terperosok ke dalam jurang di tengah perjalanan, maka dari itu aku harus ekstra hati-hati menghadapi segala tantangan yang ada, yaitu tantangan kehidupan... semoga kelak kita bisa berjumpa di puncak keabadian! ;)

dan kita tak mungkin mundur ke belakang atau meminta waktu terulang, pilihannya ada di depan, berjuang mencapai puncak keabadian atau menyerah terperosok dalam jurang keabadian? maka gunakanlah kesempatan yang hanya sekali itu....
seperti yang terkandung dalam firman Tuhan di atas, bahwasanya matahari, bulan, siang dan malam merupakan representasi dari eksistensi sang waktu yang telah Dia ciptakan dan tundukkan, semata-mata untuk manusia yang menginginkan hakikat kehidupan, dengan berbekal hati dan akal yang telah di anugerahkanNya pada kita semua..


@ Granada, Semarang

Kamis, 08 Juli 2010

Catatan Inspirasi Kaum Intelektual


akhir-akhir ini aku banyak membaca, seharian aku bisa tahan duduk berlama-lama di perpustakaan kampusku. malamnya aku lanjutkan dg menonton film-film yg menurutku dapat mengisi pikiran dan jiwa ku, seperti film Gie dan film Confucius yg paling terakhir...

entah kenapa, perasaanku rasanya tidak enak, seperti hendak membuka kotak pandora, kegusaran demi kegusaran terus aku temui,padahal tadinya aku hanya sebatas coba belajar dr sejarah masa lalu, tapi ternyata saat aku coba 'merasakan' situasi saat itu entah kenapa justru aku pun merasakan hal yg serupa di kehidupan saat ini, ya kehidupan yg tak kunjung pd situasi yg ku idealkan, setidaknya dalam benakku sendiri...

rentetan berita ataupun peristiwa terus menerus memborbardir pikiranku setiap hari bahkan setiap detik (detik.com) berbagai persoalan ttg kemanusiaan terus mewarnai lembaran-lembaran koran dan media lainnya yg ku baca hampir setiap pagi (hari), serasa tak ada habisnya semua masalah itu...
jangan muluk2 melihat masalah DUNIA yg begitu rumit itu, masalah yg ada di negeri ku sendiri saja sudah sangat menyita pikiran dan akal sehat semua kaum intelekual termasuk aku.

aku terus bertanya dalam diri apakah ujung dr teka-teki ini? teka-teki ttg keresahan2 ini..
bila Budha pernah berkata bahwa 'hidup adalah penderitaan', maka aku pun agaknya cukup setuju dg pernyataan itu, walaupun aku tidak akan pernah mau hidup dalam penderitaan, setidaknya kita harus mau merubah situasi yg ada, sekacau apapun kondisi yg terlanjur terjadi ini, mungkin kita punya kesempatan / peluang untuk merubahnya menjadi lebih baik seperti yg pernah Tuhan titahkan dalam firmanNya bahwa Dia akan merubah nasib suatu kaum (manusia) jika manusia itu mau mengubah nasibnya dg usahanya sendiri.. ya itulah janji Tuhan yg patut kita yakini???

berita tentang korupsi, degradasi moral, perang atas nama agama, suku, golongan, dsb hanyalah segelintir dari sekian banyak masalah yg manusia cipta sendiri, yg pada muaranya adalah penyiksaan atau penindasan antara manusia itu sendiri. nyatanya bumi kita ini masih belum berubah dr sejak terciptanya, dari awal keturunan Adam, dimana kedua anaknya saling membunuh demi memuaskan nafsu dan egoismenya, kemudian terus berlanjut hingga jaman yg sudah telampau modern ini, ya semua manusia terus saja saling sikut dan saling membunuh demi mendapat kepuasan 'manusiawinya'

lalu apa yg mesti kita (aku) perbuat?
apakah kita harus pasrah dg kenyataan ini? pasrah dg semua penindasan, semua kejahatan yg mendominasi kehidupan di dunia ini?

aku yg (masih) sebagai seorang mahasiswa yg sering disebut-sebut sebagai salah satu bagian dari kaum intelektual, mungkin hanya bisa bergumam sambil mengerutkan dahi,

disaat seperti inilah seharusnya kaum intelektual bertindak, berbuat sesuatu, bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas di segala arus masyarakat yg kacau, tetapi mereka tidak bisa lepas dr fungsi sosialnya, yakni bertindak demi tanggungjawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelektual yg terus berdiam didalam keadaan yg mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan. Bahwa kita mati itu bukan soal, setidaknya kita telah memenuhi panggilan seorang pemikir.
Tetapi apa yg lebih puitis selain bicara tentang kebenaran?
Kita harus terus mempublikasikan suatu seruan terhadap keberanian bicara, kita perlu konsepsi dewasa ini, segala usaha yg bisa kita lakukan harus dikerahkan, untuk bisa belajar dan memahami persoalan-persoalan dewasa ini. Masalah ketidakmengertian ini adalah masalah semua kaum intelektual termasuk aku didalamnya.
Baik dia adalah seorang intelektual yg menyebut dirinya nasionalis, agamis, sosialis bahkan komunis...
kapankah tiba masanya disaat kita semua mampu berdiri berdampingan, berjuang bersama-sama untuk melanjutkan cita-cita perjuangan para pahlawan kemerdekaan?
setidaknya dalam kapasitas apapun yg kita bisa, termasuk sebagai seorang mahasiswa, yg masih luhur menjaga IDEALISMEnya!
*HIDUP RAKYAT INDONESIA! HIDUP MAHASISWA!!!



@Granada, Semarang












Jumat, 02 Juli 2010

Idealisme Vs Ketakutan


sudah hampir 4 tahun aku berkutat dg ilmu ekonomi di bangku kuliah, selama itu pula sedikit banyak aku mempelajari tentang teori-teori ekonomi dan sedikit banyak pula aku coba merasionalisasikan teori-teori tersebut dg realita ataupun fenomena yang ada.

banyak dr teori yg muluk-muluk itu pada akhirnya hanya menjadi batu yg terus menghantam keras akal sehatku, karena banyak dr teori (idealisasi kondisi ekonomi) tersebut hanya menjadi hiasan buku-buku teks yg kami pelajari, pada kenyataannya teori seringkali berbenturan dg kenyataan.

ambil contoh yg paling dasar, pertumbuhan ekonomi suatu negara seharusnya akan diikuti dg peningkatan lapangan kerja (penurunan pengangguran) dan kesejahteraan pd akhirnya (cateris paribus), tapi apa yg terjadi?
dari data2 yg terpublikasi atau dari pandangan kasat mata kita saja, semua teori (idealisasi) itu kembali menjadi mimpi di tengah siang bolong, nyatanya ttp saja kemiskinan makin merajalela, disparitas / kesenjangan makin jauh tak terkejar, yg KAYA makin KAYA, yg MISKIN makin MISKIN
ya, itulah sedikit contoh kecil dr pikiranku yg bodoh ini yg masih belum bisa memahami (mempercayai) kenyataan

sehubungan dg hal diatas, pagi tadi kebetulan aku membaca sebuah majalah tentang perbankan saat berkunjung ke perpustakaan Bank Indonesia, Semarang

tema umum majalah yg baru saja aku baca itu adalah tentang Bankir (orang2 yg bekerja di dunia perbankan), satu persatu halaman majalah aku baca dg khusyu, aku resapi setiap cerita yg dimuat dlm majalah tersebut,.
singkat cerita, majalah tersebut menggambarkan tentang Prestisiusnya Dunia Perbankan, Vitalnya Sektor Perbankan, Pentingnya SDM di Industri Perbankan, dsb

dr satu tokoh bankir ke tokoh bankir lain, aku baca satu persatu perjalanan hidup dan karir mereka di dunia perbankan. mulai dr Robby Johan (pakar SDM perbankan, mantan Dirut Bank Niaga) hingga salah satu anak didiknya yaitu Agus Martowardojo (mantan Dirut Bank Mandiri) yg kini menjadi Menteri Keuangan RI.

aku pun menyimpulkan bahwa semua yg baru saja ku baca itu adalah salah satu contoh
Kemapanan Para Bankir, .
kenapa aku sebut kemapanan? karena profesi bankir adalah salah satu profesi yg cukup prestisius, membanggakan, dan tentunya sangat berpeluang untuk menjadi manusia2 yg kaya (secara materil)
dr posisi Direktur, Komisaris atau bahkan kepala cabang saja qt sudah bisa mengkalkulasikan berapa banyak gaji yg bisa mereka peroleh dr profesi sbg bankir itu? tentunya jumlah yg tidak sedikit...
aku tidak mempermasalahkan gaji2 yg besar itu, aku pun tidak bermaksud mengharamkan profesi bankir. walaupun secara tidak langsung bankir memang berkontribusi mendorong perekonomian, dg kucuran kredit produktif, tentu bankir berjasa dlm membangun perekonomian...
tapi entah kenapa kadang2 aku sinis melihat profesi para bankir, ditambah kenyataan bhw perbankan sekarang makin 'pelit' terhadap sektor riil (ataupun UMKM, pertanian, dll), dan gemar mencari profit dg menimbun asset di berbagai surat berharga dan kawan2 sejenisnya...

lalu apa masalahnya?
ya disinilah pikiranku kembali terusik, secara spontan pikiranku kembali terbang menuju ingatan akan rakyat yg masih banyak hidup di jalanan, ttg dunia anak jalanan, tentang mereka yg berjuang hidup demi sesuap nasi tanpa berharap banyak untuk perbaikan hidup di masa depan...

disini aku hanya mencoba membenturkan anganku akan gemerlapnya dunia para bankir dg kesengsaraan dunia rakyat jalanan (rakyat miskin yg jumlahnya masih banyak)
aku sadar bahwa aku masih punya kesempatan untuk menentukan arah masa depanku,
aku sadar bahwa aku masih punya idealisme yg harus aku perjuangkan...
tapi semua kesadaranku itu kadangkala menjadi sebuah hal yg menakutkan bila aku berpikir nantinya aku tak mampu merealisasikannya, lalu apa gunanya aku hidup di dunia ini...

aku tidak bermaksud menjadi pahlawan, tapi aku pun benci menunggu datangnya pahlawan.
aku hanya bisa berjanji pd diriku sendiri, bahwa suatu saat nanti, aku harus terus mengabdi dan melanjutkan cita-cita perjuangan para pahlawan yg dulu telah mengorbankan diri demi rakyatnya sendiri, rakyat Indonesia yg qt cintai ini, dr Sabang sampai Merauke....

@ Granada, Semarang