Senin, 09 Agustus 2010

Bersabar dan Memberi Maaf


Menjelang bulan Ramadhan 1431 H, ijinkan saya memuat kembali salah satu buah pemikiran alm. Gus Dur yg sampai saat ini masih tetap relevan dalam kehidupan sosial kita, semoga bisa menjadi inspirasi bagi kehidupan kita sehari-hari...
Adapun tulisan alm. Gus Dur ini saya ambil dari buku kumpulan pemikiran beliau yang berjudul 'Islamku, Islam Anda, Islam Kita'



-Bersabar dan Memberi Maaf-

Dalam kitab suci Al-Qur'an dinyatakan: 'Demi masa, manusia selalu merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, berpegang kepada kebenaran dan berpegang kepada kesabaran (QS Al-Ashr:1-3). Ayat tersebut mengharuskan kita senantiasa menyerukan kebenaran namun tanpa kehilangan kesabaran. dengan kata lain, kebenaran barulah ada artinya, kalau kita juga memiliki kesabaran. Kadangkala kebenaran itu baru dapat ditegakkan secara bertahap, seperti halnya demokrasi. Di sinilah rasa pentingnya arti kesabaran.

Demikian pula sikap pemaaf juga disebutkan sebagai tanda kebaikan seorang muslim. Sebuah ayat menyatakan: "Apa yang mengenai diri kalian sendiri (semakin banyak) musibah yang menimpa, (tidak lain merupakan) hal-hal berupa buah tangan kalian sendiri. Dan (walaupun demikian) Allah memaafkan sebagian (besar) hal-hal itu (QS Al-Syura:30). Firman Allah ini mengharuskan kita juga mudah memberikan maaf kepada siapapun, sehingga sikap saling memaafkan adalah sesuatu yang secara inherent menjadi sifat seorang muslim. Inilah yang diambil mendiang Mahatma Gandhi sebagai muatan dalam sikap hidupnya yang menolak kekerasan (ahimsa), yang terkenal itu. Sikap inilah yang kemudian diambil oleh mendiang Pendeta Marthin Luther King Junior* di Amerika Serikat, dalam tahun-tahun 60-an, ketika ia memperjuangkan hak-hak sipil (civil rights) di kawasan itu, yaitu agar warga kulit hitam berhak memilih dalam pemilu.

Hal ini membuktikan, kesabaran dalam membawakan kebenaran adalah sifat utama yang dipuja oleh sejarah. Sebagaimana dituturkan oleh kisah perwayangan, para ksatria Pandawa yang dengan sabar dibuang ke hutan untuk jangka waktu yang lama, juga merupakan contoh kesabaran. Jadi, kesadaran akan perlunya kesabaran itu, memang sudah sejak lama menjadi sifat manusia. Tanpa kesabaran, konflik yang terjadi akan dipenuhi oleh kekerasan. Sesuatu yang merugikan manusia sendiri. Kekerasan tidak akan dipakai, kecuali dalam keadaan tertentu. Hal ini memang sering dilanggar oleh kaum muslimin sendiri. Sudah waktunya kita kaum muslimin kembali kepada ayat di atas dan mengambil kesabaran serta kesediaan memberi maaf, atas segala kejadian yang menimpa diri kita sebagai hikmah.

-------***-------

Hiruk pikuk kehidupan, selalu penuh dengan godaan kepada kita untuk tidak bersikap sabar dan mudah memberikan maaf. Dalam pandangan penulis, kedua hal tersebut seharusnya selalu digunakan oleh kaum muslimin. Tetapi harus kita akui dengan jujur, justru kesabaran itulah yang paling sulit ditegakkan dan kalau kita tidak dapat bersabar bagaimana kita akan memberi maaf atas kesalahan orang kepada kita? Jelas, bahwa antara keduanya terdapat hubungan timbal balik yang sangat mendalam, walaupun tidak dapat dikatakan terjadi hubungan kausalitas antara kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang lain para diri kita.

Kita sebagai seorang muslim, mau tidak mau harus menyediakan keduanya sebagai pegangan hidup baik secara kolektif maupun secara perorangan. Dari sinilah dapat dimengerti, mengapa Hikmah 1 Muharram 1424 Hijriyah ini sebaiknya tetap ditekankan pada penciptaan kesabaran dan penumbuhan kemampuan untuk memberikan maaf kepada orang yang dalam pandangan kita, berbuat salah kepada diri kita. Bukankan kedua ayat suci yang dikemukakan di atas, sudah cukup kuat dalam mendorong kita membuat kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang lain kepada diri kita, sebagai hikmah yang kita petik di hari raya yang mulia tersebut. Kedengarannya prinsip yang sederhana, tetapi sulit dikembangkan dalam diri kita.

Namun, lain halnya dengan para politisi yang berinisiatif menyelenggarakan sidang istimewa yang terakhir, dengan dasar 'kebenaran' hasil penafsiran politik masing-masing. Tindakan ini berarti melanggar Undang-Undang Dasar 1945, karena tidak memiliki landasan hukum. Dengan 'nafsu' politiknya-yaitu Presiden harus lengser- mereka pun meninggalkan jalan permusyawaratan. Padahal, semua persoalan yang melibatkan orang banyak harus dipecahkan dengan negoisasi, seperti Firman Allah: 'dan persoalan mereka harus lah di musyawarahkan oleh mereka sendiri' (QS Al-Syura:38). Terlihat selain melanggar konstitusi, dalam hal ini merekalah yang tidak dapat memaafkan. Sederhana saja, walaupun rumit dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara.




>>>> >Semoga kita bisa mencontoh keluasan berpikir, kesederhanaan dan kebesaran hati seorang Bapak Bangsa kita ini. Tulisan tersebut merupakan buah pemikirannya setelah sebelumnya beliau 'dilengserkan' oleh para politisi yang terbutakan mata hatinya....

Selamat Menjalankan Ibadah di bulan Ramadhan 1431 H, mohon maaf lahir & batin...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar